Menulis Melawan Mesin AI

Mengkaji ancaman (nyata) penggantian penulis oleh AI dan langkah yang bisa diambil penulis kreatif untuk memitigasinya.
Menulis Melawan Mesin AI
Ilustrasi robot menulis

Saya baru saja selesai membaca analisis tajam dari James McCreet berjudul "Menulis Melawan Mesin", dan saya harus katakan, saya sepenuhnya setuju dengannya. Ini bukanlah artikel yang bertujuan memicu ketakutan (sekadar fear-mongering); ini adalah tamparan realitas yang menyadarkan, yang sangat dibutuhkan oleh setiap orang di industri kreatif saat ini.

McCreet benar sekali. Ilusi bahwa AI "tidak akan pernah" menggantikan penulis manusia adalah pandangan yang berbahaya dan naif. Jelas tersaji di depan mata, AI sudah mendepak penulis manusia.

Realitas di Lapangan: AI Bukan Lagi Masa Depan, Tapi Masa Kini

Argumen pembuka McCreet tentang copywriting adalah pukulan telak yang tak terbantahkan. Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia penulisan, saya telah melihat ini dengan mata kepala sendiri. AI mampu menghasilkan deskripsi produk, postingan blog, dan laporan secepat kilat.

Poin krusialnya? Kualitas "cukup baik" sudah memenangkan persaingan.

Persetan dengan "karya seni" untuk deskripsi produk, perusahaan tidak lagi membutuhkannya; mereka butuh konten yang fungsional, akurat secara tata bahasa, dan kaya kata kunci. AI unggul dalam hal ini. Seperti kata McCreet, peran manusia kini terdegradasi menjadi "editor" yang lebih murah. Ini adalah penghematan biaya besar bagi perusahaan, dan musnahnya lapangan pekerjaan bagi penulis.

Benteng Fiksi yang Ternyata Rapuh

Bagi mereka yang masih berlindung di balik argumen "Ah, tapi fiksi itu berbeda, fiksi punya jiwa," McCreet dengan brilian membantah anggapan tersebut.

Saya setuju penuh bahwa genre formulaik—kriminal, fantasi, dan romansa—adalah sasaran empuk berikutnya. AI telah menguasai fondasi: tata bahasa, struktur paragraf, dan bahkan teknik sastra seperti metafora dan ritme. Lihat saja, pada Maret 2025, cerita yang ditulis AI berjudul 'A Machine-shaped Hand' (Tangan Berbentuk Mesin) diungkapkan oleh OpenAI dan dipuji oleh penulis Jeanette Winterson.

Seperti yang diakui McCreet, cerita adalah bagian paling mekanis dari sebuah novel. Jika AI bisa mempelajari aturan, ia pasti bisa mempelajari formula cerita. Hanya masalah waktu—mungkin lima atau sepuluh tahun—sebelum AI menghasilkan genre novel yang "sangat mudah dibaca" dan laris di pasaran.

Seperti yang diakuinya, cerita atau alur adalah bagian novel yang paling mudah dipelajari aturannya. Karena cerita memiliki rumus atau pola yang pasti, kecerdasan buatan (AI) bisa mempelajarinya dengan mudah. Jadi, hanya butuh waktu beberapa tahun (mungkin 5 sampai 10 tahun) sebelum AI bisa menciptakan genre novel yang laku keras dan sangat nyaman dibaca.

Argumen Emosional yang Terdengar Palsu

McCreet dengan cerdas membongkar tiga argumen utama yang sering dilontarkan para idealis:

  1. "Pembaca ingin sentuhan manusia."
    McCreet benar. Pembaca massal tidak benar-benar peduli siapa penulisnya. Mereka hanya ingin alur cerita yang menarik. Banyak novel laris adalah produk yang sudah diulang-ulang formulanya. Novel-novel ini sering ditulis oleh orang lain (ghostwriter) atau diubah habis-habisan oleh editor, sehingga suara asli penulisnya sudah hilang. Selama ceritanya bagus, pembaca tidak akan keberatan jika itu dibuat oleh mesin (AI).
  2. "AI tidak berjiwa."
    Kenyataannya, coba lihat sebagian besar novel yang laku di pasaran saat ini. Apakah novel-novel itu benar-benar "berjiwa" atau punya gaya bahasa yang unik? Fokus mereka penjualan. Banyak penulis sengaja mengorbankan gaya bahasa yang unik demi menciptakan alur cerita yang cepat dan mudah dicerna. Intinya, jika novel yang laku hanya fokus pada alur cepat, AI sangat mudah meniru gaya penulisan yang tidak "berjiwa" ini.
  3. "Industri penerbitan tidak akan mau menggunkan AI."
    Penerbit pasti akan mau! Penerbitan adalah bisnis (industri). Jika AI bisa membuat novel yang laku di pasaran dengan biaya nyaris nol (tidak perlu bayar penulis, editor, proofreader, dan tidak perlu berhadapan dengan masalah atau ego penulis manusia), mereka pasti akan memanfaatkan kesempatan ini.

Jalan Keluar: Jadilah Lebih Manusiawi

Namun, artikel ini tidak membuat saya putus asa. Justru sebaliknya. McCreet menawarkan satu-satunya jalan ke depan yang logis, dan saya sangat setuju dengannya.

Kita tidak bisa lagi bersaing di level teknis. AI sudah lebih baik dari kita dalam hal tata bahasa dan struktur dasar. Kita menang bukan dengan menjadi penulis yang "lebih baik" secara teknis, tetapi dengan menjadi "lebih manusiawi".

Keunggulan kita, seperti yang dijelaskan McCreet, ada pada hal-hal yang tidak bisa dijangkau atau ditiru oleh Kecerdasan Buatan (AI):

  • Pengalaman Indra Sejati:
    • Kita: Bisa menulis tentang rasa, bau, atau suara karena kita benar-benar merasakannya di dunia nyata.
    • AI: Hanya tahu deskripsi kata-katanya, tapi tidak bisa merasakan (tidak ada indra).
  • Emosi Mendalam:
    • Kita: Bisa menulis yang membuat pembaca terharu atau marah, karena kita tahu rasanya sedih, gembira, atau takut.
    • AI: Tidak punya perasaan, sehingga sulit menciptakan tulisan yang benar-benar menggerakkan emosi pembaca.
  • Inovasi dan Ide Baru:
    • Kita: Bisa menciptakan ide orisinal yang muncul dari pengalaman hidup dan imajinasi liar.
    • AI: Hanya bisa merangkai ulang atau meniru pola-pola yang sudah ada di data latihnya. Ia tidak bisa menciptakan sesuatu yang benar-benar baru.
  • Mendobrak Aturan untuk Seni:
    • Kita: Unggul dalam menulis yang tidak kaku; kita bisa melanggar aturan (mendobrak) tata bahasa atau struktur cerita demi menciptakan gaya, ritme, atau suara unik yang terasa artistik. Baca artikel saya sebelumnya: Rahasia Keunikan Voice Penulis.
    • AI: Cenderung terlatih untuk kaku dan jelas, sehingga sulit bermain-main dengan ambiguitas atau seni memecahkan aturan.

Analogi McCreet tentang pelukis Modernis yang merespons fotografi sangatlah tepat. Ketika kamera bisa menangkap realitas permukaan, Picasso melukis esensi tarian itu sendiri. Itulah yang harus kita lakukan.

Peringatan Terakhir

Peringatan terakhir McCreet adalah yang paling penting: Berhentilah membantu AI menggantikan Anda. Setiap kali penulis menggunakan AI untuk "mencari ide", "memperbaiki draf", atau "melakukan proofread", kita pada dasarnya sedang melatih algojo kita sendiri.

Artikel ini adalah seruan mendesak. Kita harus "meningkatkan level permainan kita". Kita harus menggali lebih dalam ke pengalaman unik kita, keanehan kita, dan kemanusiaan kita. Kita harus menulis prosa yang, seperti kata McCreet, "bernapas, berkeringat, menangis, dan memasuki mimpi kita."

Hanya dengan cara itulah kita bisa tetap relevan. James McCreet telah memetakan ancaman sekaligus solusinya. Pertanyaannya adalah, apakah kita mau mendengarkannya?

Tentang Penulis

Lalu Abd. Rahman
Lahir selamat. Saya seorang pembelajar, pemeriksa fakta, penulis, editor, dan pengeblog.

Posting Komentar